Artikel
ke-1
DEFINISI VAKSIN / IMUNISASI
Vaksin
berasal dari kata Vaccinia, penyebab infeksi cacar pada sapi. Secara umum
vaksin adalah suatu bahan yang diyakini dapat melindungi seseorang terhadap
penyakit. Vaksin dibuat dari virus atau bakteri pathogen yang menyebabkan
terjadinya penyakit, pathogen inilah yang konon disuntikan kedalam tubuh dengan
harapan dapat membantu memerangi penyakit. Sehingga dapat juga disimpulakan
bahwa tujuan vaksin adalah suatu usaha untuk merangsang daya tahan tubuh dengan
memasukkan bibit penyakit yang dilemahkan dan dicampur dengan bahan lain. Pada
masa lalu pembuatan vaksin banyak menggunakan serum binatang, namun kemudian
penggunaan bahan ini dilarang karena dampak buruk yang ditimbulkan tidak
terbendung. Pada masa sekarang ini pembuatan vaksin dengan mengunakan virus dan
bakteri. Meurut ahli farmasi dan tanaman obat Universitas Indonesia Dr.
Abdul Mu’nim, Apt. bahwa vaksinasi / imunisasi adalah usaha memancing daya
tahan atau pertahanan tubuh seseorang, sehingga dengan demikian vaksinasi /
imunisasi tidak ada hubunganya dengan peningkatan daya tahan tubuh.
Penggunaan
bahan HARAM dalam pembuatan vaksin ini diakui oleh produsen vaksin terbesar
ditanah air yaitu Biofarma, seperti pernah diungkapkan oleh Drs. Iskandar , Apt
, M.M ketika menjabat Direktur perencanaan dan pengembangan PT. Biofarma kepada
Hidayatulloh.com, Beliau mengatakan bahwa enzim tripsin BABI masih digunakan dalam pembuatan vaksin khususnya
vaksin polio ( IPV ). Selain menggunakan tripsin babi, prosuksi vaksin juga
masih menggunakan media biakan virus ( sel kultur ) yang berasal dari jaringan
ginjal kera ( sel vero ) sel dari ginjal anjing dan dari retina mata manusia. Sementara kepala divisi produksi vaksin virus PT.
Biofarma, Drs. Dodi Ugiyadi mengatakan bahwa ketiga unsure tersebut digunakan
untuk pengembangan vaksin influenza, di Biofarma kita menggunakan sel ginjal
monyet untuk memproduksi vaksin polio kemudian sel embrio ayam untuk produksi
vaksin campak dan secara umum Biofarma masih menggunakan sel yang berasal dari
hewan dan manusia.
Cara membuat vaksin
Pembuatan
vaksi melalui beberpa tahap, dan kita akan mencontohkan pembuatan vaksin polio
ditempuh dengan mengebangbiakkan virus polio untuk pembuatan vaksin polio
inaktif ( IVP ) virus polio dikembangbiakkan dengan menggunakan sel vero ebagai
media pembiakan ( sel ginjal kera ) dengan tahapan sebagai berikut :
Penyiapan
media ( sel vero ) untuk pengembangbiakkan virus
Penanaman
/ inokulasi virus
Pemanenan
virus
Pemurnian
virus
Inaktivasi
/ atenuasi virus
Penyiapan
media ( sel vero ) dilakukan dengan menggunakan mikrokarier yaitu bahan pembawa
yang akan mengikat sel tersebut, bahan tersebut adalah NN Diethyl Amino Ethyl (
DEAE ) dan pada proses selamjutnya sel vero ini harus dilepaskan dari mikrokarier
dengan menggunakan enzim tripsin ( pankreas babi ) selanjutnya pembuangan
nutrisi dengan cara dicuci dengan menggunakan larutan PBS buffer larutan ini
kemudian dinetralkan dengan serum anak sapi ( calf serum ). Sel – sel vero yang
sudah dimurnikan dan dinetralisasi itu kemudian ditambahkan mikrokarier
yang baru dan ditempatkan di bioreactor yang lebih besar dan didalamnya
ditambahkan nutrisi dan virus siap untuk dibiakkan. Sel vero yang sudah berkambang
biak dan bertambah jumlahnya kemudian dilepaskan lagi dari mikrokriernya dengan
tripsin babi dan proses ini dilakukan berulang – ulang sampai dihasilkan jumlah
yang di inginkan. Titik kritis dari pembuatan vaksin adalah penggunaan tripsin
babi yang sampai saat ini masih berlangsung.
http://pasarherbaltop.blogspot.com/2012/02/vaksin-dan-cara-pembuatannya.html
Artikel ke -2
PROSES PEMBUATAN
VAKSIN
Pengembangan
vaksin untuk melindungi manusia dari penyakit virus adalah salah satu
keunggulan dari pengobatan modern. Vaksin pertama diproduksi oleh Edward
Jenner pada tahun 1796 untuk memberikan perlindungan terhadap penyakit
cacar. Jenner menyadari bahwa pemerah susu yang telah tertular cacar sapi,
sebuah infeksi yang relatif tidak berbahaya, menjadi tahan terhadap penyakit
cacar, sebuah penyakit manusia yang sering menjadi epidemi dengan angka
kematian yang sangat tinggi.
Jenner
berteori bahwa yang cacar sapi, penyakit hewan, tidak berbeda dengan penyakit
cacar. Dia menyimpulkan bahwa reaksi manusia terhadap suntikan virus cacar sapi
entah bagaimana mekanismenya akan mengajarkan tubuh manusia bagaimana untuk
menghadapi kedua virus ini sehingga tidak menyebabkan penyakit berat atau
kematian. Saat ini, penyakit cacar sudah benar-benar diberantas. Hanya dua
sampel beku dari virus ganas ini yang masih disimpan (satu di Amerika Serikat,
yang lain di Rusia). Pada pertengahan tahun 1995 ada perdebatan ilmiah yang
serius tentang apakah sampel akan dihancurkan, atau tetap disimpan untuk studi
laboratorium lebih lanjut.
Virus
terdiri dari sejumlah kecil RNA (asam ribonukleat) atau DNA (asam
deoksiribonukleat), bahan dalam semua sel hidup yang menginstruksikan sel
bagaimana untuk tumbuh dan berkembang biak. Virus tidak dapat mereproduksi
dengan sendirinya, tapi hanya dengan mengambil alih inti sel host dan
memerintahkan sel untuk membuat virus. Ketika virus berhasil menyerang
organisme, virus itu mengambil alih proses pertumbuhan sel dalam host.
Dalam
keadaan biasa, tubuh manusia bereaksi terhadap invasi virus dengan beberapa
cara berbeda. Kekebalan secara umum terhadap virus dapat dikembangkan oleh
sel-sel dalam tubuh yang menjadi sasaran invasi virus. Dalam situasi ini, virus
akan dicegah agar tidak mendapatkan akses ke sel inang. Sebuah perlindungan
yang lebih umum adalah kemampuan tubuh untuk membuat sel-sel darah dan getah
bening yang merusak atau membatasi efektivitas dari serangan virus.
Seringkali,
tubuh manusia yang terinfeksi akan “mempelajari” bagaimana merespon terhadap
virus tertentu di masa depan, sehingga infeksi tunggal, terutama dari virus
yang relatif jinak, biasanya mengajarkan tubuh bagaimana cara untuk merespon
invasi tambahan dari virus yang sama. Common cold, misalnya,
disebabkan oleh satu dari ratusan virus. Setelah sembuh dari pilek, kebanyakan
orang resisten terhadap virus tertentu yang menyebabkan flu tersebut, meskipun
virus flu serupa masih akan menyebabkan gejala yang sama atau identik. Untuk
beberapa virus berbahaya, seseorang mungkin bahkan sudah mengembangkan
kekebalan terhadap virus tanpa menampakkan gejala sakit sama sekali.
Keluarga
Virus
Biasanya
ada beberapa variasi atau strain dari virus tertentu. Tergantung pada jumlah
variasi, ahli biologi mengelompokkan virus sesuai jenis atau strainnya. Vaksin
sering dibuat dari lebih dari satu kelompok virus yang berkaitan. Reaksi
pencegahan yang timbul dengan vaksinasi multivalen mungkin akan menyebabkan
kekebalan untuk hampir semua varian kelompok virus, atau setidaknya untuk
varian virus yang seseorang lebih mungkin terkena. Pilihan spesifik dari
kelompok virus untuk digunakan dalam pembuatan vaksin ditentukan dengan
hati-hati dan secara bersama-sama.
Proses
Pembuatan Vaksin
Produksi
vaksin antivirus saat ini merupakan sebuah proses rumit bahkan setelah tugas
yang berat untuk membuat vaksin potensial di laboratorium. Perubahan dari
produksi vaksin potensial dengan jumlah kecil menjadi produksi bergalon-galon
vaksin yang aman dalam sebuah situasi produksi sangat dramatis, dan prosedur
laboratorium yang sederhana tidak dapat digunakan untuk meningkatkan skala
produksi.
Benih
Virus
Produksi
vaksin dimulai dengan sejumlah kecil virus tertentu (atau disebut benih). Virus
harus bebas dari ‘kotoran’, baik berupa virus yang serupa atau variasi dari
jenis virus yang sama. Selain itu, benih harus disimpan dalam kondisi “ideal”,
biasanya beku, yang mencegah virus menjadi lebih kuat atau lebih lemah dari
yang diinginkan. Benih disimpan dalam gelas kecil atau wadah plastik. Jumlah
yang kecil hanya 5 atau 10 sentimeter kubik, mengandung ribuan hingga jutaan
virus, nantinya dapat dibuat menjadi ratusan liter vaksin. Freezer
dipertahankan pada suhu tertentu. Grafik di luar freezer akan mencatat
secara terus menerus suhu freezer. Sensor terhubung dengan alarm yang
dapat didengar atau alarm komputer yang akan menyala jika suhu freezer
berada di luar suhu yang seharusnya.
Pertumbuhan
Virus
Setelah
mencairkan dan memanaskan benih virus dalam kondisi tertentu secara hati-hati
(misalnya, pada suhu kamar atau dalam bak air), sejumlah kecil sel virus
ditempatkan ke dalam “pabrik sel,” sebuah mesin kecil yang telah dilengkapi
sebuah media pertumbuhan yang tepat sehingga sel memungkinkan virus untuk
berkembang biak.
Setiap
jenis virus tumbuh terbaik di media tertentu, namun semua media umumnya
mengandung protein yang berasal dari mamalia, misalnya protein murni dari darah
sapi. Media juga mengandung protein lain dan senyawa organik yang mendorong
reproduksi sel virus. Penyediaan media yang benar, pada suhu yang tepat, dan
dengan jumlah waktu yang telah ditetapkan, virus akan bertambah banyak.
Selain
suhu, faktor-faktor lain harus dipantau adalah pH. pH adalah ukuran keasaman
atau kebasaan, diukur pada skala dari 0 sampai 14. dan virus harus disimpan
pada pH yang tepat dalam pabrik sel. Air tawar yang tidak asam atau basa
(netral) memiliki pH 7. Meskipun wadah di mana sel-sel tumbuh tidak terlalu
besar (mungkin ukuran pot 4-8 liter), terdapat sejumlah katup, tabung, dan
sensor yang terhubung dengannya. Sensor memantau pH dan suhu, dan ada berbagai
koneksi untuk menambahkan media atau bahan kimia seperti oksigen untuk
mempertahankan pH, tempat untuk mengambil sampel untuk analisis mikroskopik,
dan pengaturan steril untuk menambahkan komponen ke pabrik sel dan mengambil
produk setengah jadi ketika siap.
Virus
dari pabrik sel ini kemudian dipisahkan dari media, dan ditempatkan dalam media
kedua untuk penumbuhan tambahan. Metode awal yang dipakai 40 atau 50 tahun yang
lalu yaitu menggunakan botol untuk menyimpan campuran, dan pertumbuhan yang
dihasilkan berupa satu lapis virus di permukaan media. Peneliti kemudian
menemukan bahwa jika botol itu berubah posisi saat virus tumbuh, virus bisa
tetap dihasilkan karena lapisan virus tumbuh pada semua permukaan dalam botol. Sebuah penemuan penting dalam tahun 1940-an
adalah bahwa pertumbuhan sel sangat dirangsang oleh penambahan enzim pada medium,
yang paling umum digunakan yaitu tripsin. Enzim adalah protein yang juga
berfungsi sebagai katalis dalam memberi makan dan pertumbuhan sel.
Dalam
praktek saat ini, botol tidak digunakan sama sekali. Virus yang sedang tumbuh
disimpan dalam wadah yang lebih besar namun mirip dengan pabrik sel, dan
dicampur dengan “manik-manik,” partikel mikroskopis dimana virus dapat
menempelkan diri. Penggunaan “manik-manik” memberi virus daerah yang lebih
besar untuk menempelkan diri, dan akibatnya, pertumbuhan virus menjadi yang
jauh lebih besar. Seperti dalam pabrik sel, suhu dan pH dikontrol secara ketat.
Waktu yang dihabiskan virus untuk tumbuh bervariasi sesuai dengan jenis virus
yang diproduksi, dan hal itu sebuah rahasia yang dijaga ketat oleh pabrik.
Pemisahan
Virus
Ketika sudah tercapai jumlah virus
yang cukup banyak, virus dipisahkan dari manik-manik dalam satu atau beberapa
cara. Kaldu ini kemudian dialirkan melalui sebuah filter dengan bukaan yang
cukup besar yang memungkinkan virus untuk melewatinya, namun cukup kecil untuk
mencegah manik-manik dapat lewat. Campuran ini sentrifugasi beberapa kali untuk
memisahkan virus dari manik-manik dalam wadah sehingga virus kemudian dapat
dipisahkan. Alternatif lain yaitu dengan mengaliri campuran manik-manik dengan media
lain sehingga mencuci manik-manik dari virus.
Memilih
Strain Virus
Vaksin bisa dibuat
baik dari virus yang dilemahkan atau virus yang dimatikan. Pemilihan satu dari
yang lain tergantung pada sejumlah faktor termasuk kemanjuran vaksin yang
dihasilkan dan efek sekunder. Virus yang dibuat hamper setiap tahun sebagai
respon terhadap varian baru virus penyebab, biasanya berupa virus yang
dilemahkan. Virulensi virus bisa menentukan pilihan; vaksin rabies, misalnya,
selalu vaksin dari virus yang dimatikan.
Jika vaksin dari
virus dilemahkan, virus biasanya dilemahkan sebelum dimulai proses produksi.
Strain yang dipilih secara hati-hati dibudidayakan (ditumbuhkan) berulang kali
di berbagai media. Ada jenis virus yang benar-benar menjadi kuat saat mereka
tumbuh. Strain ini jelas tidak dapat digunakan untuk vaksin ‘attenuated’.
Strain lainnya menjadi terlalu lemah karena dibudidayakan berulang-ulang, dan
ini juga tidak dapat diterima untuk penggunaan vaksin. Seperti bubur, kursi,
dan tempat tidur yang disukai Goldilocks, hanya beberapa virus yang “tepat”
mencapai tingkat atenuasi yang membuat mereka dapat diterima untuk penggunaan
vaksin, dan tidak mengalami perubahan dalam kekuatannya. Teknologi molekuler
terbaru telah memungkinkan atenuasi virus hidup dengan memanipulasi molekul,
tetapi metode ini masih langka.
Ketika sudah
tercapai jumlah virus yang cukup banyak, virus dipisahkan dari manik-manik
dalam satu atau beberapa cara. Kaldu ini kemudian dialirkan melalui sebuah
filter dengan bukaan yang cukup besar yang memungkinkan virus untuk
melewatinya, namun cukup kecil untuk mencegah manik-manik dapat lewat. Campuran
ini sentrifugasi beberapa kali untuk memisahkan virus dari manik-manik dalam
wadah sehingga virus kemudian dapat dipisahkan. Alternatif lain yaitu dengan
mengaliri campuran manik-manik dengan media lain sehingga mencuci manik-manik
dari virus.
Memilih
Strain Virus
Vaksin bisa dibuat
baik dari virus yang dilemahkan atau virus yang dimatikan. Pemilihan satu dari
yang lain tergantung pada sejumlah faktor termasuk kemanjuran vaksin yang
dihasilkan dan efek sekunder. Virus yang dibuat hamper setiap tahun sebagai
respon terhadap varian baru virus penyebab, biasanya berupa virus yang
dilemahkan. Virulensi virus bisa menentukan pilihan; vaksin rabies, misalnya,
selalu vaksin dari virus yang dimatikan.
Jika vaksin dari
virus dilemahkan, virus biasanya dilemahkan sebelum dimulai proses produksi.
Strain yang dipilih secara hati-hati dibudidayakan (ditumbuhkan) berulang kali
di berbagai media. Ada jenis virus yang benar-benar menjadi kuat saat mereka
tumbuh. Strain ini jelas tidak dapat digunakan untuk vaksin ‘attenuated’.
Strain lainnya menjadi terlalu lemah karena dibudidayakan berulang-ulang, dan
ini juga tidak dapat diterima untuk penggunaan vaksin. Seperti bubur, kursi,
dan tempat tidur yang disukai Goldilocks, hanya beberapa virus yang “tepat”
mencapai tingkat atenuasi yang membuat mereka dapat diterima untuk penggunaan
vaksin, dan tidak mengalami perubahan dalam kekuatannya. Teknologi molekuler
terbaru telah memungkinkan atenuasi virus hidup dengan memanipulasi molekul,
tetapi metode ini masih langka.
Virus ini kemudian
dipisahkan dari media tempat dimana virus itu tumbuh. Vaksin yang berasal dari
beberapa jenis virus (seperti kebanyakan vaksin) dikombinasikan sebelum
pengemasan. Jumlah aktual dari vaksin yang diberikan kepada pasien akan relatif
kecil dibandingkan dengan jumlah medium yang dengan apa vaksin tersebut
diberikan. Keputusan mengenai apakah akan menggunakan air, alkohol, atau solusi
lain untuk injeksi vaksin, misalnya, dibuat setelah tes berulang-ulang demi
keselamatan, steritilitas, dan stabilitas. Pengontrolan Kualitas
Untuk melindungi
kemurnian vaksin dan keselamatan pekerja yang membuat dan mengemas vaksin,
kondisi kebersihan laboratorium diamati pada seluruh prosedur. Semua transfer
virus dan media dilakukan dalam kondisi steril, dan semua instrumen yang
digunakan disterilisasi dalam autoklaf (mesin yang membunuh organisme dengan
suhu tinggi, dan yang berukuran sekecil kotak perhiasan atau sebesar lift)
sebelum dan sesudah digunakan. Pekerja yang melakukan prosedur memakai pakaian
pelindung yang meliputi gaun Tyvek sekali pakai, sarung tangan, sepatu bot,
jaring rambut, dan masker wajah. Ruangan pabrik sendiri memakai AC yang khusus
sehingga jumlah partikel di udara minimal.
Proses
Perizinan
Dalam rangka untuk
peresepan obat untuk dijual di Amerika Serikat, produsen obat harus memenuhi
persyaratan lisensi yang ketat yang ditetapkan oleh hukum dan diberlakukan oleh
Food and Drug Administration (FDA). Semua obat yang diresepkan harus
menjalani tiga tahap pengujian, meskipun data dari fase kedua kadang-kadang
dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan tahap ketiga.
Tahap 1 pengujian
harus membuktikan bahwa obat aman, atau setidaknya tidak ada efek yang tidak
diinginkan atau tak terduga akan terjadi dari pemberiannya. Jika obat dapat
melewati tahap 1 pengujian, di samping harus diuji efektivitasnya (obat harus
memiliki efek apa yang seharusnya). Obat-obatan yang tidak berguna tidak dapat
dijual, atau yang membuat klaim untuk efek yang sebenarnya tidak dimiliki.
Akhirnya, tahap 3 pengujian ini dirancang untuk mengukur efektivitas obat.
Meskipun vaksin diharapkan memiliki efektivitas hampir 100%, obat-obat tertentu
mungkin dapat diterima bahkan jika mereka mempunyai efektivitas yang minimal,
asalkan dokter yang meresepkan mengetahuinya.
Seluruh proses
produksi ditelaah dengan hati-hati oleh FDA dengan mempelajari catatan prosedur
serta mengunjungi tempat produksi itu sendiri. Setiap langkah dalam proses
produksi harus didokumentasikan, dan produsen harus menunjukkan suatu “kontrol
yang tetap” untuk proses produksi. Ini berarti bahwa prsedur yang teliti harus
terjaga untuk setiap langkah dalam proses, dan harus ada instruksi tertulis
untuk setiap langkah dari proses. Kecuali dalam kasus-kasus kesalahan yang
memilukan, FDA tidak menentukan apakah setiap langkah dalam proses benar,
tetapi hanya bahwa itu aman dan cukup terdokumentasi dengan baik untuk
dilakukan, seperti yang ditetapkan oleh produsen.
Masa depan
Vaksin
Memproduksi vaksin
antivirus yang aman dan dapat dimanfaatkan melibatkan sejumlah besar langkah
yang, sayangnya, tidak selalu dapat dilakukan pada setiap virus. Masih banyak
yang harus dilakukan dan dipelajari. Metode baru dari manipulasi molekul telah
menyebabkan lebih dari satu ilmuwan meyakini bahwa teknologi vaksin baru
sekarang memasuki “zaman keemasan.” Perbaikan vaksin sangat mungkin dilakukan
di masa depan. vaksin Rabies, misalnya, menghasilkan efek samping yang membuat
vaksin tidak memuaskan untuk imunisasi masal, di Amerika Serikat, vaksin rabies
sekarang digunakan hanya pada pasien yang telah tertular virus dari hewan yang
terinfeksi dan mungkin bila tanpa imunisasi, menjadi penyakit yang fatal.
Virus HIV, saat ini
tidak bisa dibuat dengan metode produksi vaksin tradisional. Virus AIDS cepat
bermutasi dari satu strain ke yang lain, dan setiap strain tampaknya tidak
memberikan kekebalan terhadap jenis lain. Selain itu, kendalanya, efek
imunisasi baik virus yang dilemahkan atau virus yang dibunuh tidak dapat
diperlihatkan baik di laboratorium ataupun pada hewan uji.
Artikel ke-3
BAHAN-BAHAN KIMIA YANG UMUM DIGUNAKAN DALAM PEMBUATAN VAKSIN
Bahan-bahan kimia yang umum digunakan dalam pembuatan vaksin termasuk:
·
Cairan
pelarut (suspending fluid) seperti air steril, saline, atau cairan yang
mengandung protein.
·
Pengawet
dan penstabil, seperti albumin, fenol dan glycine.
·
Tambahan
lain (enhancer) untuk meningkatkan kinerja vaksin
Sebagian
vaksin juga ada yang mengandung sedikit sekali materi pengkulturan seperti
protein telur ayam. Protein ini digunakan dalam vaksin untuk membantu
pertumbuhan bakteri atau virus yang sudah dilemahkan yang nantinya akan memicu
produksi antibodi. Baca: Imunisasi pada bayi. Bahan-bahan kimia yang digunakan
dalam pembuatan vaksin biasanya jumlahnya sangat sedikit dan para ahli
menggunakannya untuk menjaga kualitas vaksin itu sendiri.
Unsur-unsur yang Umum Terkandung dalam Vaksin
Aluminum
Aluminum
ini biasanya berupa jel atau garam yang fungsinya untuk membantu vaksin dalam
merangsang terbentuknya antibodi.
Antibiotik
Antibiotik
terkadang ditambahkan juga ke dalam vaksin tertentu untuk mencegah
berkembangnya bakteri selama masa pembuatan vaksin dan penyimpanannya. Namun
biasanya vaksin tidak mengandung penisilin.
Protein Telur
Vaksin
yang menggunakan protein ini adalah vaksin influenza dan demam kuning. Vaksin
ini aman digunakan oleh siapa saja yang tidak memiliki pantangan terhadap
telur.
Formaldehyde
Biasanya
digunakan untuk vaksin yang memakai racun bakteri untuk memicu imunitas.
Formaldehyde juga digunakan untuk membunuh berbagai virus dan bakteri berbahaya
yang dapat mencemari proses pembuatan vaksin. Nantinya, sebelum bvksin dikemas
untuk didistribusikan, formaldehyde akan dibuang terlebih dulu.
Monosodium Glutamate (MSG)
MSG
dan Fenoksi Etanol 2 digunakan sebagai penyeimbang pada sebagian vaksin,
sehingga kualitas vaksin tidak terganggu ketika terkena panas, lembab, dan
sebagainya.
Thimerosal
Merupakan
pengawet yang mengandung merkuri yang digunakan pada vaksin yang dikemas dengan
botol kecil untuk pemakaian lebih dari satu dosis. Vaksin jenis ini
dikhawatirkan dapat tercemar dengan bakteri yang berbahaya, karena setelah
dipakai akan disimpan untuk digunakan lagi pada imunisasi berikutnya. Untuk
mencegah serangan bakteri tersebut, biasanya digunakan Thimerosal.
Artikel
ke- 4
MENGENAL
PENERAPAN TRIPSIN DALAM PEMBUATAN VAKSIN
Salah satu contoh yang diutarakan oleh Menteri
Kesehatan, Nafsiah Mboi, terkait dengan sertifikasi halal produk farmasi adalah
keberadaan katalisator di vaksin tertentu. Salah satu katalisator yang
digunakan oleh pabrik vaksin adalah tripsin.
Tripsin
adalah sejenis protein yang secara alami dihasilkan di pankreas hewan. Tripsin
memiliki fungsi utama dalam proses pencernaan makanan, utamanya protein. Dengan
adanya tripsin, maka beberapa proses digestif bisa berlangsung dengan baik.
Namun,
setelah melalui banyak penelitian, ditemukan bahwa tripsin yang berasal dari
babi (porcine trypsin) ternyata bisa pula digunakan untuk menjadi bahan
tambahan dalam pembuatan vaksin. Hal ini didasari oleh temuan bahwa tripsin
babi memiliki kedekatan secara struktural dengan tripsin yang dihasilkan oleh
tubuh manusia.
Sebelum
saya memaparkan secara lebih detail tentang seluk-beluk penggunaan tripsin di
sediaan vaksin, mari kita mengenal terlebih dahulu beberapa hal terkait vaksin.
Vaksin
adalah salah satu sediaan farmasi yang diberikan dengan tujuan untuk
meningkatkan sistem kekebalan tubuh individu penerima. Berbeda dengan sediaan
lainnya, vaksin justru mengandung materi yang berasal dari mikroorganisme,
entah itu berupa virus, bakteri, toksin, atau hanya merupakan bagian tertentu
virus/bakteri. Mikroorganisme ini akan dilemahkan terlebih dahulu sebelum
diberikan kepada resipien. Karena telah dilemahkan, maka mikroba/toksin/bagian
mikroba ini sudah tidak bisa lagi menimbulkan penyakit, tetap tetap bisa
mengaktifkan sistem imunitas kita.
Salah
satu sistem imun yang penting adalah sistem memori imun. Artinya, dengan
pemberian vaksin, maka tubuh akan segera "mengingat" jenis mikroba
yang diberikan dalam vaksin tersebut. Alhasil, jika di kemudian hari mikroba
yang sama kemudian menyerang, maka tubuh langsung mengaktifkan sistem imunnya
dengan cepat karena telah pernah merekam mikroba yang bersangkutan. Misalnya,
vaksin A yang mengandung mikroba B. Saat diberikan, maka tubuh akan
mengaktifkan sistem memorinya untuk mengingat mikroba B. Jika nanti mikroba B
yang asli menyerang, maka tubuh sudah siap dengan strategi pembasmiannya karena
sudah pernah "berhadapan" langsung dengan mikroba B yang berasal dari
vaksin yang dulunya pernah diberikan.
Terkait
dengan hal di atas, maka untuk menghasilkan vaksin yang baik, paling tidak ada
6 komponen yang harus dikomposisikan yakni:
1.
Bahan aktif. Inilah yang menjadi bahan
dasar dari vaksin. Bahan aktif ini, seperti yang saya kemukakan sebelumnya,
bisa berupa virus atau bakteri yang telah dilemahkan. Bahan aktif vaksin juga
bisa berasal dari bagian virus/bakteri tertentu yang bisa mengaktifkan sistem
imun kita. Selain itu, bahan aktif vaksin bisa juga berasal dari toksin yang
dihasilkan oleh mikroorganisme tertentu.
2.
Ajuvan. Zat ini, misalnya garam-garam
aluminium, berperan penting dalam meningkatkan respon imun tubuh terhadap
vaksin yang diberikan. Dengan adanya ajuvan, maka jumlah bahan aktif
(virus/bakteri/toksin) yang diberikan bisa diminimalisir. Selain itu, ajuvan
berperan penting untuk menjamin bahwa bahan aktif vaksin bisa menimbulkan
respon imun yang dibutuhkan.
3.
Diluen. Vaksin biasanya diberikan dalam
bentuk sediaan cair. Nah, diluen berperan untuk mengencerkan vaksin sehingga
didapatkan volume vaksin yang sesuai sebelum diberikan kepada pasien.
4.
Stabilisator. Komponen yang satu ini
tidak kalah penting dalam menjamin kualitas suatu vaksin. Stabilisator berperan
dalam menjaga kualitas bahan aktif maupun komponen vaksin lainnya agar tetap
bagus selama masa penyimpanan. Selain itu, stabilisator juga mencegah pelekatan
komponen-komponen vaksin di dinding kemasannya.
5.
Pengawet. Vaksin menjadi salah satu
sediaan farmasi yang harus dijaga kesterilannya. Adanya kontaminasi dari
mikroba yang tidak diinginkan akan berakibat fatal. Untuk menjaga kontaminasi
yang terjadi, maka ditambahkanlah pengawet.
6.
Komponen lainnya. Komponen ini terdiri
atas beberapa zat yang ditemukan dalam konsentrasi yang tidak signifikan.
Misalnya adanya sisa antibiotik yang ditambahkan untuk mencegah kontaminasi
saat proses pembuatan vaksin, zat penginaktivasi yang berperan untuk
menginaktivasi virus/bakteri/toksin yang ada dalam vaksin dan protein telur
sebagai media tumbuh virus/bakteri sebelum diinaktivasi.
Nah,
dari keenam komponen dasar sebuah vaksin, salah satu komponen yang melibatkan
keberadaan zat yang berasal dari babi adalah stabilisator. Salah satu
stabilisator yang sering ditambahkan ke dalam sediaan vaksin adalah gelatin
yang sebagian besar dihasilkan dari babi. Terkait dengan hal ini, pada tanggal
26 Maret 2013, Institute of Vaccine Safety
telah meng-update informasi tentang jenis-jenis vaksin yang
menggunakan gelatin sebagai stabilisatornya. Lembaga ini bernaung di
bawah Johns Hopkins Bloomberg School of Public Health. Akan tetapi, gelatin
bukan menjadi satu-satunya stabilisator yang tersedia dalam vaksin. Selain
gelatin, stabilisator bisa juga didapatkan dari serum albumin manusia atau
sapi, sukrosa, laktosa dan monosodium glutamate.
Lalu,
dimanakan peran tripsin dalam pembuatan vaksin?
Secara
umum, tripsin tidaklah ditemukan dalam produk akhir vaksin. Jikapun ditemukan,
maka tidak dalam konsentrasi yang signifikan. Hal ini terjadi karena tripsin
terlibat hanya pada tahap-tahap awal pembuatan produk vaksin, utamanya pada
tahap penumbuhan mikroba.
Sebagaimana
yang telah saya paparkan sebelumnya, salah satu bahan aktif vaksin adalah virus
atau bakteri yang dilemahkan. Virus/bakteri pertama-tama akan ditumbuhkan di
dalam media khusus yang bisa saja berbeda untuk tiap jenis mikroba. Media
khusus ini terdiri dari banyak bahan lain yang sengaja ditambahkan untuk
meningkatkan kualitas pertumbuhan mikroba. Tidak hanya itu, pertumbuhan mikroba
dalam media tersebut harus didukung pula oleh faktor-faktor eksternal seperti
suhu yang pas dan pH yang baik.
Nah,
untuk menstimulasi pertumbuhan mikroba inilah, tripsin memainkan peranan
penting. Sejak tahun 1940-an, para peneliti menemukan bahwa penambahan enzim
dalam kultur mikroba akan merangsang pertumbuhan mikroba tersebut. Salah satu
enzim yang sangat terkenal sampai sekarang dalam hal pertumbuhan kultur mikroba
adalah tripsin. Tripsin bisa mengkatalisis atau menstimulasi proses pertumbuhan
mikroba dalam media sehingga hasil yang didapatkan bisa lebih banyak dalam
waktu yang relatif lebih singkat.
Selain
menjadi katalisator pertumbuhan bahan aktif, tripsin juga memiliki peranan lain
dalam produksi vaksin. Di antaranya mencegah pelekatan sel-sel bakteri atau
virus dari tempat penumbuhan selama proses pengkulturan. Tripsin juga bisa
menstimulasi kultur virus/bakteri sehingga sifat pemicu imunnya bisa
diaktifkan.
Masalah
kemudian muncul karena sumber tripsin masih sangat terbatas. Secara umum,
tripsin yang digunakan di industri vaksin berasal dari dua sumber utama yakni
dari babi (porcine trypsin) dan sapi (bovine trypsin). Namun, jika
dibandingkan, penggunaan porcine trypsin relatif lebih luas.
Hal
inilah yang kemudian mendasari lahirnya kontroversi penggunaan vaksin yang
memanfaatkan katalisator dari tripsin babi di kalangan umat muslim di dunia,
termasuk di Indonesia. Menyikapi hal ini, muncullah gagasan untuk memberlakukan
sertifikasi halal produk farmasi yang belakangan mendapatkan penolakan dari
Menkes. Pandangan pribadi saya terkait dengan kontroversi ini sudah saya
tuangkan dalam tulisan saya sebelumnya.
Kontroversi
ini tidak berhenti sampai di sini. Di sisi lain, tripsin yang berasal dari babi
ternyata juga beberapa kali ditemukan mengalami kontaminasi dari virus yang
tidak diinginkan. Badan Kesehatan Dunia (WHO)
telah menginformasikan mengenai hal ini pada tahun 2010. Menyusul hal ini, European Medicines
Agency (EMA) mengeluarkan panduan resmi yang dirilis tanggal 21 Februari
2013 terkait dengan penggunaan porcine trypsin di pabrik-pabrik
pembuat produk-produk biologis, termasuk vaksin.
Pertanyaan
lanjutan yang muncul adalah apakah tidak ada alternatif katalisator lain yang
bisa digunakan untuk menggantikan peran tripsin? Menurut panduan dari EMA di
atas, peran tripsin dalam pembuatan vaksin bisa digantikan oleh beberapa
alternatif di antaranya, tripsin yang berasal dari rekombinan bakteri, tripsin
yang diderivasi dari tanaman tertentu, enzim-enzim yang didapatkan dari hewan
invertebrata, dan tripsin yang diekstraksi dari pankreas sapi.
Akan
tetapi, yang harus dipahami adalah setiap mikroba memiliki spesifikasi
tersendiri. Artinya, tidak semua mikroba bisa dikatalisis pertumbuhannya dengan
tripsin sapi. Sebaliknya, tidak semua mikroba bisa dirangsang pertumbuhannya
dengan penambahan tripsin babi. Misalnya, mikroba A bisa dikatalisis oleh porcine
trypsin dan mikroba B hanya optimal pertumbuhannya jika dirangsang oleh bovine
trypsin. Singkatnya, setiap mikroba memiliki "gaya hidupnya"
tersendiri. Jika diubah, maka pertumbuhannya justru tidak akan maksimal, bahkan
bisa menyebabkan kematian mikroba yang sedang ditumbuhkan itu.
Artikel ke – 5
APLIKASI
REKAYASA GENETIKA DALAM PEMBUATAN VAKSIN HEPATITIS DENGAN MENGGUNAKAN BAKTERI Saccharomyces cereviciae UNTUK MENCEGAH
INFEKSI VIRUS HEPATITIS B
Inovasi bioteknologi terutama
rekombinan DNA telah membuka kemungkinan baru untuk memproduksi vaksin hidup
dengan mudah. Untuk melakukan itu dibutuhkan organisme vektor yang sesuai, dan
virus vaccinia merupakan vektor yang paling terkenal saat ini disamping cytomegalovirus sebagai calon
vektor potensiil. Penyisipan molekul DNA ke dalam suatu vektor sehingga
memungkinkannya untuk terintegrasi dan mengalami perbanyakan dalam suatu sel
organisme lain yang berperan sebagai sel inang.Untuk memperoleh vaksin yang
dibuat dalam rekayasa genetika yakni dengan cara DNA rekombinan diperoleh hasil
akhir yaitu bakteri yang telah disisipi gen ini akan membentuk antigen murni.
Bila antigen ini disuntikkan pada manusia, sistem kekebalan manusia akan
membuat senyawa khas yang disebut antibodi. Munculnya antibodi ini akan
mempertahankan tubuh dari pengaruh senyawa asing (antigen) yang masuk dalam
tubuh.
Salah satu dari perkembangan
IPTEK dewasa ini adalah Rekayasa genetika dalam berbagai proses dan produknya
yang akhir-akhir ini mengalami perkembangan yang cukup drastis dan meminta
perhatian serius. Kemajuan dan perkembangan bioteknologi tidak dapat terlepas
dari kemajuan dan dukungan ilmu-ilmu dasar seperti: mikrobiologi, biokimia,
biologi molekuler, dan genetika. Kompetensi menguasai bioteknologi tersebut
dapat tercapai manakala pembinaan sumber daya manusia diorientasikan pada
kompetensi meneliti dan menerapkan metode-metode mutakhir bioteknologi.
Kemampuan menguasai dan mengaplikasikan metode-metode mutakhir bioteknologi (current methods of biotecnology)
seperti: kultur jaringan, rekayasa genetik, hibridoma, kloning, dan polymerase
chains reaction (PCR) secara prospektif telah mampu menghasilkan
produk-produk penemuan baru.
Sejak vaksin diperkenalkan Edward Jenner 1796, vaksinasi sering dilakukan untuk melindungi manusia dan hewan terhadap infeksi virus. Keberhasilan vaksinasi tercermin dari berkurangnya penyakit-penyakit infeksi pada manusia dan hewan ternak. Puncak keberhasilan ini terwujud dengan adanya vaksinasi smallpox masal. Vaksinasi smallpox dilakukan menggllnakan vaksin virus cowpox yaitu virus vaccinia. Produksi vaksin ini relatif mudah dan stabilitasnya dapat dipertahankan dengan membuat sediaan freeze-dried, sehingga dapat dikirim keseluruh dunia tanpa pendinginan. Selain itu vaksinasi mudah dilakukan dan tidak memerlukan peralatan yang mahal. Vaksinasi sekarang menjadi istilah umum untuk pemaparan antigen terhadap manusia atau binatang dalam membangkitkan respon kekebalan. Vaksin potensial merupakan syarat utama untuk tujuan ini sehingga dapat mengontrol penyakit secara efektif. Inovasi bioteknologi terutama rekombinan DNA telah membuka kemungkinan baru untuk memproduksi vaksin hidup dengan mudah. Untuk melakukan itu dibutuhkan organisme vektor yang sesuai, dan virus vaccinia merupakan vektor yang paling terkenal saat ini disamping cytomegalovirus sebagai calon vektor potensiil. Virus vaccinia sudah lama dikenal dan digunakan untuk vaksinasi smallpox. Selama digunakan, sudah tak diragukan lagi keefektifannya dan relatif aman, stabil, serta mudah cara pemberiannya. Virus vaccinia mempunyai beberapa karakteristik yang khas sehingga terpilih sebagai vektor untuk menghasilkan vaksin rekombinan hidup. la merupakan virus DNA, manipulasi genetik dapat dilakukan relatip mudah, ia mempunyai genome yang dapat menerima banyak DNA asing, mudah ditumbuhkan dan dimurnikan serta mempunyai range host yang lebar pada manusia dan hewan.
Sejak vaksin diperkenalkan Edward Jenner 1796, vaksinasi sering dilakukan untuk melindungi manusia dan hewan terhadap infeksi virus. Keberhasilan vaksinasi tercermin dari berkurangnya penyakit-penyakit infeksi pada manusia dan hewan ternak. Puncak keberhasilan ini terwujud dengan adanya vaksinasi smallpox masal. Vaksinasi smallpox dilakukan menggllnakan vaksin virus cowpox yaitu virus vaccinia. Produksi vaksin ini relatif mudah dan stabilitasnya dapat dipertahankan dengan membuat sediaan freeze-dried, sehingga dapat dikirim keseluruh dunia tanpa pendinginan. Selain itu vaksinasi mudah dilakukan dan tidak memerlukan peralatan yang mahal. Vaksinasi sekarang menjadi istilah umum untuk pemaparan antigen terhadap manusia atau binatang dalam membangkitkan respon kekebalan. Vaksin potensial merupakan syarat utama untuk tujuan ini sehingga dapat mengontrol penyakit secara efektif. Inovasi bioteknologi terutama rekombinan DNA telah membuka kemungkinan baru untuk memproduksi vaksin hidup dengan mudah. Untuk melakukan itu dibutuhkan organisme vektor yang sesuai, dan virus vaccinia merupakan vektor yang paling terkenal saat ini disamping cytomegalovirus sebagai calon vektor potensiil. Virus vaccinia sudah lama dikenal dan digunakan untuk vaksinasi smallpox. Selama digunakan, sudah tak diragukan lagi keefektifannya dan relatif aman, stabil, serta mudah cara pemberiannya. Virus vaccinia mempunyai beberapa karakteristik yang khas sehingga terpilih sebagai vektor untuk menghasilkan vaksin rekombinan hidup. la merupakan virus DNA, manipulasi genetik dapat dilakukan relatip mudah, ia mempunyai genome yang dapat menerima banyak DNA asing, mudah ditumbuhkan dan dimurnikan serta mempunyai range host yang lebar pada manusia dan hewan.
Sifat virus vaccinia
memungkinkan dilakukan rekayasa genetika dan mampu mengekspresikan informasi
antigen asing dari berbagai patogen. Bila vaksin hidup hasil
rekombinan ini digunakan untuk vaksinasi binatang maka binatang tersebut akan
memperlihatkan respon imunologis terhadap antigen patogenik yang dimaksud.
Beberapa laporan percobaan telah memperlihatkan vaksinasi binatang percobaan
dengan virus rekombinan berhasil melindungi binatang ini terhadap penyakit yang
berhubungan. Beberapa laporan telah mengekspresikan berbagai penyakit,
seperti herpes simplex virus glycoprotein, influenza virus hemagglutinin,
hepatitis B virus surface antigen, rabies virus glycoprotein, plasmodium
knowlesi sporozoite antigen dan sebagainya. Rekombinan ini telah
memperlihatkan reaksi kekebalan terhadap patogen-patogen tersebut.
Vaksin hepatitis B yang efektif sudah ada sejak tahun 1982. Ada dua jenis
vaksin hepatitis B yan diberi lisensi untuk dipakai di Amerika Serikat dan
Kanada. Kedua jenis vaksin tersebut aman dan mempunyai daya perlindungan tinggi
terhadap semua jenis subtipe HBV. Tipe pertama dibuat dari plasma
seseorang dengan HBsAg positif, tidak lagi diproduksi di Amerika Serikat tetapi masih digunakan
secara luas.
Tipe kedua dibuat dengan teknologi rekombinan DNA (rDNA); vaksin ini dibuat dengan menggunakan sintesa HBsAg dengan menggunakan Saccharomyces cerevisiae (ragi yang biasa dipakai untuk membuat kue), kedalam ragi ini di insersi plasmida yang berisi gen HBsAg. Kombinasi imunoprofilaksis pasif-aktif antara hepatitis B immunoglobulin (HBIG) dengan vaksin terbukti dapat merangsang terbentuknya anti-HBs sebanding dengan vaksin yang diberikan sendiri. Satu produk rekayasa genetika adalah Vaksin Hepatitis B yang dihasilkan oleh yeast (Saccharomyces cereviceae) melalui tehnik rekombinan DNA menggunakan hepatitis B surface antigen (HBsAg). Penggunaan vaksin ini telah meluas di seluruh dunia dan terbukti efektif dalam menekan jumlah infeksi virus Hepatitis B (HVB). Jenis vaksin rekombinan yang paling umum digunakan adalah Recombivax HB dan Energix-B, diberikan secara intramuscular pada bayi yang baru lahir, anak-anak, dan dewasa. Dosis pemberian vaksin sebanyak 3 kali. Pemberian vaksin telah dikembangkan dengan menyisipkannya ke dalam tanaman, misalnya pada pisang.
Tipe kedua dibuat dengan teknologi rekombinan DNA (rDNA); vaksin ini dibuat dengan menggunakan sintesa HBsAg dengan menggunakan Saccharomyces cerevisiae (ragi yang biasa dipakai untuk membuat kue), kedalam ragi ini di insersi plasmida yang berisi gen HBsAg. Kombinasi imunoprofilaksis pasif-aktif antara hepatitis B immunoglobulin (HBIG) dengan vaksin terbukti dapat merangsang terbentuknya anti-HBs sebanding dengan vaksin yang diberikan sendiri. Satu produk rekayasa genetika adalah Vaksin Hepatitis B yang dihasilkan oleh yeast (Saccharomyces cereviceae) melalui tehnik rekombinan DNA menggunakan hepatitis B surface antigen (HBsAg). Penggunaan vaksin ini telah meluas di seluruh dunia dan terbukti efektif dalam menekan jumlah infeksi virus Hepatitis B (HVB). Jenis vaksin rekombinan yang paling umum digunakan adalah Recombivax HB dan Energix-B, diberikan secara intramuscular pada bayi yang baru lahir, anak-anak, dan dewasa. Dosis pemberian vaksin sebanyak 3 kali. Pemberian vaksin telah dikembangkan dengan menyisipkannya ke dalam tanaman, misalnya pada pisang.
Teknologi DNA rekombinan atau
sering juga disebut rekayasa genetika merupakan teknologi yang memanfaatkan
proses replikasi, transkripsi dan translasi untuk memanipulasi, mengisolasi dan
mengekspresikan suatu gen dalam organisme yang berbeda. Biasanya gen dari
organisme yang lebih tinggi diekspresikan pada organisme yang lebih rendah. Teknologi
ini juga memberikan kesempatan yang tidak terbatas untuk menciptakan kombinasi
barudari gen yang tidak ada pada kondisi normal. Melalui rekayasa genetika,
akan dihasilkan kombinasi baru dari materi genetik melalui penyisipan molekul
asam nukleat kedalam suatu sistem DNA vektor (plasmid bakteri, virus dan
lain-lain) dan kemudian memasukkan vektor ini kedalam suatu inang sehingga akan
dihasilkan suatu produk gen dalam jumlah banyak.
Pembuatan Vaksin Hepatitis B
Vaksin HBsAg yang dimumikan dari
plasma karier dan inaktifasiformalin/panas telah diproduksi di beberapa
laboratorium. Namun dengan terbatasnya persediaan plasma, perlunya seleksi dan
kontrol yang ketat untuk mendapatkan vaksin murni dan bebas sumber infeksi
lain, maka pendekatan lain terus dicari. Problem ini akhirnya dapat teratasi
dengan pendekatan rekombinan DNA. Salah satu sintesis HbsAg yang telah berhasil
dari sel ragi ( yeast ) rekombinan. Partikel ini memperlihatkan sifat
imunogenik pada binatang percobaan; pengujian pada manusia telah berhasil
menginduksi anti HBs dan melindungi dar iinfeksi virus hepatitis B. Saat ini
setidaknya ada 3 sumber partikel HBsAg yang digunakan untuk vaksinasi hepatitis
B. Terutama HbsAg dimumikan dari plasma karier. Metode ini telah berhasil dan
efikasinya tidak disangsikan. Dua sumber lain yaitu melalui pendekatan
teknologi rekombinan DNA, dengan memasukan gen virus hepatitis B pengkode HBsAg
ke dalam sel ragi dan sel mamalia. Selain itu, HBsAg juga dapat disekresi oleh
E coli, namun jumlahnya relatif kecil, demikian juga sifat antigeniknya.
Tahapan pembuatan vaksin
Virus yang dilemahkan
(imunisasi). Untuk menghasilkan vaksin dibutuhkan HBsAg yang berasal dari virus
Hepatitis B, virus diperbanyak dalam medium tertentu sehingga nantinya
dihasilkan virus yang tidak menyebabkan penyakit namun mampu merangsang sistem
imun. Strain ini selanjutnya dikultur pada kondisi yang sesuai dan virusnya
diinaktifkan melalui pemanasan dan proses kimia. Tahapan berikutnya virus yang
telah dilemah diinjeksikan ke dalam tubuh
Vaksin DNA rekombinan
Vaksin hepatitis B yang diproduksi sel ragi rekombinan telah menjalani
pengujian keamanan, imunogenisitas dan evaluasi klinis. Hasil menunjukkan bahwa
vaksin ini aman, antigenik dan relatif bebas efek samping yang merugikan,
bahkan vaksin ini telah dilisensikan dan diproduksi diberbagai negara. Salah
satu keuntungan vaksin dari sel ragi dibanding dari plasma yaitu siklus
produksinya dapat dikurangi, dan konsistensi dari batch ke batch lebih mudah
diperoleh.
HBs Ag dilepaskan dari sel dengan
homogeniser atau disruption menggunakan glass bead. Pemurnian melalui tahap
klarifikasi, ultrafiltrasi, kromatografi dan ultrasentrifugasi serta diabsorbsi
dengan alum hidroksida; sebagai pengawet ditambahkan thiomerosal.
Karakterisisasi partikel dilakukan dengan membandingkan HBs Ag dari plasma
antara lain meliputi berat molekul, komposisi asam amino, densitas dalam CsC12
dan sebagainya. Analisis imunologis menggunakan antibodi monoklonal
memperlihatkan vaksin dari plasma dan ragi mengandung epitop yang berperan
menginduksi antibodi setelah vaksinasi
Vaksin Hepatitis B rekombinan
(Recombivax HB) Recombivax HB vaccine mengandung antigen Hepatitis B, amorphous
aluminum hidroksiphosfat, yeastprotein yang diberi formaldehid, dan thimerosal
sebagai pengawet. Vaksin Hepatitis B rekombinan ini berasal dari HepatitisB surface antigen (HBsAg) yang diproduksi
dalam sel yeast. Bagian virus yang mengkode HBsAg dimasukkan kedalam yeast, dan
selanjutnya dikultur. Antigen kemudian dipanen dan dipurifikasi dari kultur fermentasi
yeast Saccharomyces cereviceae, antigen HBsAg mengandung gen adw subtype.
Proses fermentasi meliputi pertumbuhan Saccharomyces cereviceae pada medium
kompleks yang mengandung ekstrak Yeast, soy pepton, dextrose, asam amino, dan
garam mineral. Protein dilepaskan dari sel yeast melalui pengrusakan sel
kemudian dipurifikasi dengan metode fisika dan kimia. Selanjutnya potein
dimasukkan ke larutan buffer posfat dan formaldehid, dipercepat dengan
menggunakan alum (potassium aluminium sulfat). Vaksin rekombinan ini
memperlihatkan kesamaan dengan vaksin yang diperoleh dari plasma darah.
Vaksin Hepatitis B rekombinan
(Engerix-B). Engerix-B
merupakan DNA rekombinan yang dikembangkan dan dibuat oleh perusahaan Glaxo
Smith Kline. Biological. Mengandung antigen permukaan virus Hepatitis B (HBsAg)
yang telah dipurifikasi dan dikultur dalam sel Saccharomyces cereviceae. HBsAg yang diekspresikan oleh Saccharomyces cereviceae dipurifikasi dengan
cara fisika-kimia dan aluminium hidroksida Engerix-B® vaccine mengandung
antigen hepatitis B yang telah dimurnikan, aluminum hidroksida, sejumlah yeast
protein dan thimerosal yang digunakan dalam proses produksi, serta 2
phenoxyethanol sebagai pengawet.
Gen yang mengkode senyawa
penyebab penyakit (antigen) diisolasi dari mikrobia yang bersangkutan. Kemudian
gen ini disisipkan pada plasmid bakteri yang sama, tetapi telah dilemahkan
(tidak berbahaya). Bakteri atau mikroba ini menjadi tidak berbahaya karena
telah dihilangkan bagian yang menimbulkan penyakit, misalnya lapisan lendirnya.
Bakteri yang telah disisipi gen ini akan membentuk antigen murni.
Bila antigen ini disuntikkan pada manusia, sistem kekebalan manusia akan membuat senyawa khas yang disebut antibodi. Munculnya antibodi ini akan mempertahankan tubuh dari pengaruh senyawa asing (antigen) yang masuk dalam tubuh. Berikut adalah
Bakteri yang telah disisipi gen ini akan membentuk antigen murni.
Bila antigen ini disuntikkan pada manusia, sistem kekebalan manusia akan membuat senyawa khas yang disebut antibodi. Munculnya antibodi ini akan mempertahankan tubuh dari pengaruh senyawa asing (antigen) yang masuk dalam tubuh. Berikut adalah
gambar dari proses pembuatan vaksin.
Smber:
http://sarungbodol piss.blogspot.com/2010/11/bioteknologi-kedokteran.html
No comments:
Post a Comment