Pupuk organik dari sisa-sisa tanaman atau kotoran hewan sudah biasa. Namun,
pupuk dari bangkai hewan, baru luar biasa. Inilah yang dilakukan Anas Tika,
petani dari Desa Matunru-tunrue, Kecamatan Cempa, Kabupaten Pinrang, Sulawesi
Selatan (Sulsel). Dia mampu mengolah bangkai tikus menjadi pupuk organik cair,
sangat menyuburkan tanaman.
Penemuan Anas ini tergolong unik. Awalnya, keluarga dan warga kampung
menganggap dia kurang waras. Namun kala dia mampu membuktikan, kini menjadi
tersohor bahkan, menjadi inspirasi petani lain.
Untuk membuat pupuk tikus ini, cukup sederhana. Bangkai tikus hasil
tangkapan ditempatkan di sebuah bak besar setinggi dua meter berdiameter 90 cm.
Bak bisa berupa tong besar berbahan plastik atau beton ini ditutup rapat. Di
bagian bawah diberi kran.
Tikus dibiarkan terfermentasi selama enam sampai delapan bulan. Hasil
fermentasi berbentuk cairan ini dialirkan ke penampungan melalui kran. Sebelum
dialirkan ke sawah garapan. Satu bak berdaya tampung 18 ribu tikus,
menghasilkan pupuk cair mencapai 3.000 liter. Pupuk ini untuk belasan hingga
puluhan hektar sawah.
Ketika saya mengunjungi sawahnya seluas 1,2 hektar, Sabtu 10 Agustus 2013,
Anas menunjukkan bagaimana proses penangkapan tikus dan pengolahan menjadi
pupuk. Di bagian depan sawah, ada plang besar tertulis, "Perangkap Raksasa
Tikus". Di sekitaran sawah Anas mendirikan balai, yang menjadi ruang bagi
petani lain berbagi pengalaman."Ini perangkap tikus raksasa yang saya miliki,"
katanya.
Perangkap tikus raksasa yang dimaksud itu sawah di kelilingi tembok setinggi
satu meter, dipasangi jebakan tikus pada 50 titik. Tiap jebakan ini mampu
menangkap hingga 30 tikus per malam. Berarti, dalam semalam total tikus bisa
ditangkap mencapai 1.500 ekor.
Penemuan pupuk organik cair sisa bangkai tikus, kata Anas, secara tak
sengaja. Dulu, dia dikenal karena perangkap tikus raksasa yang ditemukan sejak
2006.
Selama ini, serangan hama tikus cukup besar, bisa berdampak pada
penurunan produksi hingga 60 persen. "Tikus itu jauh lebih menyukai padi
dibanding tanaman lain. Tak heran jika padi sudah berisi, serangan tikus mulai
bermunculan."
Serangan tikus biasa terjadi Juni, ketika padi berumur 30 hari hingga masa
panen. Intensitas serangan tikus akan meningkat di musim penghujan. Pada musim
kemarau, serangan tikus berkurang karena tidak bisa bertahan di atas suhu 32
derajat celcius.
Menurut Anas, selama ini petani menangkap tikus secara manual, langsung dari
lubang-lubang yang banyak di pematang sawah. Penggunaan racun tikus sering
dilakukan petani jika serangan cukup besar.
Namun, cara ini dinilai Anas kurang efektif dan memakan waktu lama.
Penggunaan racun bisa menimbulkan masalah tersendiri karena jika berlebihan
berpotensi membunuh predator lain, yang justru dibutuhkan oleh petani.
Melihat kondisi ini, Anas mulai berpikir alternatif lain. Sampai dia
menemukan cara lewat mengisolasi sawah dengan membangun tembok setinggi satu
meter. Dia pun mendesain perangkap tikus yang hanya dilalui tikus. Dengan cara
ini hampir tak ada tikus bisa lolos. Tikus dibunuh dengan merendam di air
selama 2,5 menit.
Awalnya, dia merasa terbantu dengan perangkap temuan ini. Dia bahkan
dinobatkan sebagai Petani Teladan Nasional pada 2008. Namun, masalah lain
muncul: bagaimana membuang bangkai tikus dengan jumlah puluhan ribu?
"Saya bingung membuang bangkai tikus itu. Dulu saya membuang begitu saja di
pinggir jalan depan sawah. Bangkai tikus ini justru mengganggu petani lain dan
pengguna jalan. Banyak mengeluhkan bau menyengat kemana-mana," kata Anas.
Meskipun tak tamat SMP, tetapi pria ini senang bereksperimen. Suatu hari,
dia menemukan tanaman tempat pembuangan bangkai tikus itu ternyata tumbuh
subur. Beberapa pohon kelapa yang hampir mati, kembali sibur. Dari sinilah dia
kemudian bangkai tikus ini mampu menyuburkan tanaman.
Anas mulai beresperimen dengan beberapa bangkai tikus. Setelah
berbulan-bulan melakukan percobaan, dia makin yakin dengan keampuhan bangkai
tikus ini dalam menyuburkan tamaman.
"Saya juga melihat kalau bangkai tikus ini langsung digunakan hasil kurang
baik, justru bisa merusak tanaman. Jadi waktu efektif perendaman ini antara
enam sampai delapan bulan."
Dengan pupuk cair ini, produktivitas sawah Anas pun meningkat cukup
siginifikan. Dulu, hanya berproduksi enam sampai tujuh ton per hektar, kini
9-10 ton. Pertumbuhan padi terlihat lebih subur dan hijau dibandingkan pupuk
kimiawi. Belum lagi, dari aspek lingkungan lebih menyehatkan, karena tidak lagi
harus tergantung pupuk kimiawi.
Untuk menghindari bau menyengat bangkai tikus, Anas menambahkan bahan-bahan
lain di wadah tikus itu, seperti buah-buahan dan air kelapa. Sebelum digunakan
dia menganjurkan pupuk dicampur dengan lumpur. "Lumpur bisa menghilangkan bau
tikus agar tidak terlalu menyengat." Diapun tengah mencari formula tepat
peredam bau bangkai ini.
Penggunaan pupuk ini tergolong sederhana, cukup dialirkan ke sawah sebelum
penanaman. Untuk pembibitan pemberian pupuk tikus ini biasa hanya sekali,
sebelum penanaman. Untuk sawah tanam dua kali, yaitu sebelum penanaman dan saat
malai mulai berbunga. Anas menjamin pupuk tikus ini aman dari segi kesehatan. "Yang penting pupuk tidak mengenai luka luar."
Atas temuan ini, dia dijuluki Profesor Tikus oleh warga setempat. Ratusan
petani dari berbagai daerah berdatangan menimpa ilmu. Puluhan mahasiswa dan
peneliti pertanian juga banyak menimba ilmu pupuk tikus ini.
Anas memperoleh SCTV Award 2013 di bidang inovasi. Untuk tahun ini, dia
terpilih sebagai salah seorang Penyuluh Swadaya Nasional mewakili
Sulsel. Dia merasa belum puas dengan temuan perangkap tikus dan pupuk
organik ini. "Masih banyak yang harus diperbaiki."